Jangan Biarkan Layar Menggantikan Pilar: Mengurai Benang Kusut Kehidupan Keluarga di Era Digital
Era digital, yang membawa kemudahan komunikasi dan banjir informasi, ibarat pedang bermata dua bagi institusi paling fundamental dalam masyarakat: keluarga. Sebelum era ini, interaksi berpusat pada kehadiran fisik dan komunikasi tatap muka. Kini, sebuah gawai kecil mampu mendistorsi harmoni rumah tangga, menciptakan masalah yang sebelumnya tak terbayangkan.
Samsi
11/15/20252 min read


Fenomena yang saya amati adalah refleksi nyata dari perubahan sosial yang signifikan, di mana digital telah bergeser dari alat pelengkap menjadi alat ukur kehidupan.
Ketika Api Cemburu dan Perpecahan Dipicu oleh Unggahan
Media digital, khususnya media sosial, telah menjadi pemicu utama keretakan yang seharusnya tidak terjadi.
Perselingkuhan Virtual dan Kecemburuan: Keterlibatan emosional dengan pihak ketiga melalui dunia maya, atau yang sering disebut "perselingkuhan virtual," telah diakui sebagai salah satu alasan perceraian. Interaksi yang terlalu intens dengan orang asing di media sosial dapat memicu kecemburuan yang berujung pada perpecahan. Batas antara ruang privat dan publik menjadi kabur, membuat pasangan rentan terhadap kecurigaan dan ketidakpercayaan.
Kehilangan Kehadiran: "Meninggalkan keluarga gegara digital" tidak selalu berarti pergi secara fisik, melainkan ketidakhadiran emosional. Anggota keluarga duduk bersama, tetapi mata dan pikiran terpaku pada layar masing-masing. Kualitas komunikasi tatap muka menurun drastis, digantikan oleh keasyikan pribadi di dunia maya, menciptakan isolasi sosial di dalam rumah sendiri.
Standar Hidup yang Tidak Realistis dan Pergeseran Peran
Salah satu dampak paling nyata dari media sosial adalah munculnya perbandingan sosial yang toksik.
Tekanan Finansial pada Suami: Ibu dan istri kini memiliki akses mudah melihat potret kehidupan "ideal" dari pasangan lain di media sosial—rumah mewah, liburan, atau barang-barang bermerek. Hal ini menimbulkan perasaan "ada yang kurang" dari hasil nafkah suami, meskipun secara faktual kebutuhan keluarga sudah tercukupi. Tekanan ini mendorong banyak perempuan mencari nafkah (bertarung mencari nafkah) bukan sekadar membantu, tetapi karena tuntutan standar hidup yang diukur dari layar digital.
Kompetisi Suami-Istri: Suami yang dulunya berfokus penuh pada peran sebagai pencari nafkah utama, kini menghadapi dinamika baru. Ketika istri merasa gajinya lebih besar atau merasa apa yang diperoleh suami kurang memadai (karena perbandingan medsos), suami bisa menjadi bulan-bulanan istri. Hal ini menciptakan suasana persaingan antar suami-istri alih-alih kemitraan. Peran tradisional yang bersifat komplementer bergeser menjadi kompetitif, merusak fondasi kerja sama dalam rumah tangga.
Tantangan Generasi Z dalam Pernikahan
Dinamika ini semakin rentan di kalangan perkawinan anak Generasi Z yang tumbuh bersama media digital. Gen Z cenderung menginternalisasi standar hidup mewah yang mereka lihat di TikTok atau Instagram, membuat mereka tertekan untuk mengadakan pesta pernikahan mewah atau mencapai "kemapanan" konsumtif sebelum dan sesudah menikah.
Paparan tinggi terhadap tingkat perceraian dan konflik di media sosial juga membuat mereka lebih skeptis terhadap komitmen pernikahan seumur hidup, sehingga perpecahan lebih mudah terjadi ketika ekspektasi idealistik dari dunia maya berbenturan dengan realitas kehidupan berumah tangga.
Digital Bukan Tolok Ukur, Tetapi Pelengkap
Kondisi berantakan yang kita lihat saat ini terjadi karena kita telah keliru menempatkan fungsi digital. Era digital seharusnya jangan menjadi alat ukur untuk kehidupan, tapi hanya sebagai alat pelengkap dalam kehidupan.
Digital sebagai Alat Ukur: Media sosial menampilkan hasil akhir yang terseleksi—kekayaan, kebahagiaan palsu, dan pernikahan yang sempurna. Ketika ini dijadikan tolok ukur, maka realitas hidup yang penuh perjuangan akan selalu terasa gagal.
Digital sebagai Alat Pelengkap: Digital berfungsi sebagai alat komunikasi, informasi, dan pekerjaan. Ia harus tunduk pada nilai-nilai utama keluarga: kasih sayang, komunikasi jujur, dan kehadiran.
Untuk menjaga keharmonisan, setiap keluarga harus memiliki Literasi Digital Keluarga yang kuat, dengan langkah-langkah nyata:
Batasi Penggunaan: Tetapkan zona dan waktu bebas gawai (misalnya, saat makan, jam tidur, atau saat berkumpul).
Komunikasi Terbuka: Pasangan harus terbuka mengenai interaksi digital dan menetapkan batasan bersama untuk menghindari kecemburuan.
Dahulukan Kehadiran: Utamakan interaksi tatap muka yang berkualitas. Sebuah pelukan dan obrolan tulus jauh lebih berharga daripada semua notifikasi di dunia.
Keluarga yang kuat adalah keluarga yang memilih untuk mengontrol teknologi, bukan dikontrol olehnya. Mari kembalikan fokus pada pilar-pilar utama: bersosialisasi dan berkeluarga secara nyata, menjadikan digital sebagai alat bantu, bukan hakim yang menentukan nilai kebahagiaan kita.
Pendidikan Untuk Semua
Belajar, mengajar, dan menginspirasi dalam bidang pendidikan Formal dan Nonformal
Kontak
Ekonomi
samsiberkarya
081312029889
© 2024. Samsi All rights reserved.
