Bencana di Sumatera: Menguak Kompleksitas Penyebab di Balik Musibah

Wilayah Sumatera seringkali menjadi sorotan berita karena intensitas dan variasi fenomena bencana alam yang melandanya, mulai dari banjir, tanah longsor, hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Melihat frekuensi dan dampak yang ditimbulkan, penting untuk mengulas beberapa kemungkinan penyebab yang sering diindikasikan, yang melibatkan interaksi kompleks antara faktor alam dan, yang lebih signifikan, aktivitas dan moralitas manusia.

SUMATRA BAJIRHUTANKESADARAN MORAL

Samsi

12/1/20252 min read

1. Keserakahan Manusia dan Pembalakan Liar

Salah satu faktor pemicu bencana ekologis yang paling nyata adalah keserakahan manusia dalam mengejar keuntungan duniawi jangka pendek. Praktik pembalakan liar (illegal logging) yang dilakukan tanpa izin resmi pemerintah merupakan tindakan destruktif. Penggundulan hutan secara masif dan tidak bertanggung jawab, terutama di kawasan hutan lindung dan lereng-lereng curam, menghilangkan fungsi vital hutan sebagai penyerap dan penahan air. Ketika hujan deras tiba, tidak ada lagi vegetasi yang mampu menahan laju air dan tanah, yang berujung pada banjir bandang dan tanah longsor. Tindakan ini jelas menunjukkan pengabaian terhadap kelestarian alam demi keuntungan segelintir pihak.

2. Indikasi Pola Simbiosis Mutualisme dalam Kepentingan Pribadi

Penyebab bencana seringkali melibatkan lebih dari sekadar aksi individu; ada indikasi adanya pola simbiosis mutualisme yang negatif dan destruktif. Pola ini merujuk pada kerja sama atau relasi saling menguntungkan antara dua pihak atau lebih—misalnya, antara oknum pengusaha dan oknum pejabat—yang tujuannya bukan untuk kepentingan negara atau rakyat, melainkan untuk kepentingan pribadi atau golongan.

  • Contoh: Memuluskan izin konsesi lahan yang tidak sesuai peruntukannya, menutup mata terhadap pelanggaran Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), atau membiarkan praktik perusakan lingkungan demi bagi hasil finansial.

  • "Simbiosis" ini menciptakan lingkungan impunitas di mana pelanggaran terhadap hukum dan lingkungan dapat terus berlangsung tanpa hukuman yang tegas.

3. Rendahnya Pengawasan dan Penegakan Hukum

Faktor yang memperburuk situasi adalah rendahnya pengawasan dari aparat berwenang. Pengawasan yang lemah memberikan celah bagi pelaku perusakan lingkungan untuk beroperasi.

  • Kurangnya Sumber Daya: Keterbatasan jumlah petugas pengawas atau minimnya sarana prasarana di wilayah yang luas dan sulit dijangkau.

  • Lemahnya Penegakan Hukum: Bahkan ketika pelanggaran ditemukan, proses hukum yang lambat, ringan, atau bahkan "hilang di tengah jalan" gagal memberikan efek jera yang memadai.

  • Kondisi ini secara langsung berkontribusi pada poin 1 dan 2, memungkinkan pembalakan liar dan pelanggaran tata ruang terus terjadi secara sistematis.

4. Pengaruh dari Para Pengusaha Besar

Peran pengusaha besar seringkali sangat dominan dalam konteks bencana ekologis. Kekuatan modal mereka memungkinkan mereka untuk memengaruhi kebijakan, memperoleh konsesi lahan yang luas untuk perkebunan (terutama sawit) atau pertambangan, dan pada akhirnya, mengubah bentang alam secara drastis.

  • Rakyat sebagai Alat: Dalam skema ini, masyarakat lokal atau buruh seringkali menjadi alat untuk melaksanakan kegiatan eksploitatif, entah sebagai pekerja upahan rendah atau pihak yang disalahkan ketika terjadi bencana (misalnya, tuduhan pembukaan lahan dengan cara membakar).

  • Monopoli sumber daya oleh korporasi besar seringkali menyingkirkan praktik pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan oleh masyarakat adat atau petani kecil.

5. Perspektif Teologis: Tanda Kebesaran dan Peringatan Tuhan

Dari perspektif teologis dan spiritual, bencana alam sering diinterpretasikan sebagai peringatan atau cara Allah/Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya.

  • Hukuman atas Kedzaliman: Bencana dilihat sebagai konsekuensi langsung dari kedzaliman manusia terhadap alam (merusak keseimbangan ekosistem) dan keserakahan yang melupakan nilai-nilai moral dan etika.

  • Dalam ajaran agama, alam semesta adalah titipan yang harus dijaga (khalifah di bumi). Ketika manusia melampaui batas dan mengeksploitasi alam secara berlebihan, musibah terjadi sebagai refleksi dari ketidakseimbangan moral dan spiritual. Bencana menjadi cermin yang memperlihatkan sejauh mana manusia telah jauh dari nilai-nilai luhur, dan menjadi momen untuk introspeksi serta kembali kepada kesadaran akan tanggung jawab mereka sebagai penjaga alam.

Kesimpulan: Tanggung Jawab Kolektif

Musibah bencana di Sumatera adalah hasil dari perpaduan faktor alam dan, yang paling mendesak untuk ditangani, kesalahan dan keserakahan yang berakar pada manusia. Mengatasi masalah ini memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak: pemerintah harus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum, korporasi harus mengedepankan keberlanjutan daripada laba jangka pendek, dan masyarakat harus sadar akan hak dan tanggung jawab mereka dalam menjaga lingkungan. Bencana adalah peringatan nyata bahwa alam memiliki batas dan kedzaliman manusia memiliki konsekuensi.